Sumber Gambar:

Sektor pertanian khususnya sub sektor tanaman pangan merupakan sektor yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Seperti ketahui perubahan iklim ekstrim akan menyebabkan terjadinya banjir, kekeringan dan bahkan terjadinya kenaikan muka air laut. Hal ini tentunya akan mempengaruhi produksi pertanian, yang sangat penting terutama dalam penyedia pangan manusia, bahan baku industry dan bioenergi. Perubahan iklim akan mempengaruhi pola hujan yang berakibat banjir bahkan sebaliknya kekeringan serta perubahan musim, terjadinya peningkatan suhu udara serta pemanasan global serta terjadinya peningkatan muka air laut. .
Perubahan pola hujan
Berdasarkan terjadinya, hujan dibedakan menjadi lima yaitu: 1) Hujan siklonal, yaitu hujan yang terjadi karena udara panas yang naik disertai dengan angin berputar; 2) Hujan zenithal, yaitu hujan yang sering terjadi di daerah sekitar ekuator, akibat pertemuan Angin Pasat Timur Laut dengan Angin Pasat Tenggara. Kemudian angin tersebut naik dan membentuk gumpalan-gumpalan awan di sekitar ekuator yang berakibat awan menjadi jenuh dan turunlah hujan; 3) Hujan orografis, yaitu hujan yang terjadi karena angin yang mengandung uap air yang bergerak horisontal. Angin tersebut naik menuju pegunungan, suhu udara menjadi dingin sehingga terjadi kondensasi. Terjadilah hujan di sekitar pegunungan; 4) Hujan frontal, yaitu hujan yang terjadi apabila massa udara yang dingin bertemu dengan massa udara yang panas. Tempat pertemuan antara kedua massa itu disebut bidang front. Karena lebih berat massa udara dingin lebih berada di bawah. Di sekitar bidang front inilah sering terjadi hujan lebat yang disebut hujan frontal; dan 5) Hujan muson, yaitu hujan yang terjadi karena Angin Musim (Angin Muson).

Akibat perubahan iklim pola hujan juga terjadi di wilayah Indonesia seperti terjadinya perubahan musim hujan yang mundur di beberapa lokasi atau sebaliknya di wilayah lain mundur. Hasil penelitian Aldrian dan Jamil (2006) menyebutkan bahwa jumlah bulan dengan curah hujan ekstrim cenderung meningkat dalam 50 tahun terakhir . Dari sekitar 5,1 juta ha lahan sawah yang terdapat disejumlah provinsi di Indonesia, 74 ribu ha diantaranya tergolong sangat rawan kekeringan dan 1,1 juta ha termasuk rawan. Nusa Tenggara dan Lampung memiliki lahan sawah terluas yang tergolong sangat rawan kekeringan, sedangkan Sumatera Utara memiliki angka tertinggi kategori daerah rawan kekeringan. Di pulau Jawa dari sekitar 3,5 juta ha lahan sawah, sebagian (4,5 %) merupakan wilayah rawan banjir yang sebagian besar terdapat di Jawa Timur dan Jawa Tengah dan hanya 33% yang tergolong tidak rawan banjir. Apabila intensitas dan frekuensi curah hujan semakin meningkat akan menimbulkan kerugian yang semakin besar Dengan peta wilayah rawan banjir dan kekeringan tersebut, tentunya akan mempengaruhi produksi pertanian terutama tanaman pangan.

Peningkatan suhu udara
Runtunuwu dan Kondoh (2008) menyebutkan bahwa, peningkatan suhu udara global selama 100 tahun terakhir rata-rata sebesar 0,57ºC sedang Boer (2007) dari Konsorsium Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim (KP3I) sektor pertanian juga melaporkan bahwa selama 100 tahun terakhir, suhu udara di Jakarta meningkat 1,4ºC. Peningkatan suhu ini, menyebabkan naiknya transparansi dan konsumsi air, yang akan mempercepat pematangan buah/biji yang selanjutnya menurunkan produktivitas dan mutu hasil tanaman pangan serta berkembangnya berbagai hama penyakit tanaman.
Dari hasil penelitian KP3I tahun 2008 menunjukkan bahwa peningkatan suhu akibat meningkatnya konsentrasi CO2 dapat mengakibatkan menurunnya hasil tanaman. Apabila suhu meningkat lebih dari 4ºC, dapat mengakibatkan turunnya hasil pertanian lebih dari 20%. Dengan menggunakan model simulasi tanaman, John Sheehy dari IRRI (2007) menyatakan bahwa penurunan hasil akibat kenaikan suhu 1ºC adalah 0,6 ton/ha ada pendapat lain (Peng et al, 2004), bahwa setiap kenaikan suhu minimum sebesar 1ºC akan menurunkan hasil padi sebesar 10%. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPPC), Geneva (2007), telah menggunakan model RENDAMAN.CSM dan dugaan kenaikan suhu udara,menyebabkan potensi dan tingkat hasil padi di Jawa Barat terus menurun hingga tahun 2100, sehingga perlu ada penelitian untuk mendapatkan varietas padi toleran suhu tinggi dan rendaman.
Peningkatan muka air laut
Hasil analisis Badan Litbang Pertanian, untuk lima wilayah pembangunan menunjukkan bahwa hingga tahun 2050 luas baku lahan sawah akan menyusut akibat tergenang atau tenggelam oleh kenaikan muka air laut. Penyusutan lahan sawah di Jawa dan Bali diperkirakan sekitar 182.556 ha, Sulawesi 79.701 ha, Kalimantan 25,372, Sumatera 3,170 ha, dan Nusatenggara khususnya di Lombok 2,123ha. Boer (2011) dari Konsorsium Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim menyatakan bahwa kehilangan produksi padi akibat berkurangnya luas lahan dan salinitas karena kenaikan muka air laut berkisar antara 160 ribu ton di Jawa Barat, 80 ribu ton di Jawa Tengah dan 40 ribu ton di Jawa Timur.
Handoko et. al dari SEAMEO BIOTROP, Bogor menyebutkan bahwa potensi kehilangan luas lahan sawah dan lahan kering tanaman pangan akibat kenaikan muka air laut berturut-turut antara 113.000-146.000 ha dan16.600-32.000 ha, sedangkan kehilangan lahan kering areal perkebunan antara 7.000-9.000 ha. Menjelang tahun 2050, tanpa upaya adaptasi perubahan iklim secara nasional diperkirakan produksi tanaman pangan strategis akan menurun untuk padi 20,3-27,1%, jagung 13,6%, kedelai 12,4% dan 7,6% untuk tebu jika dibandingkan dengan tahun 2006. Potensi penurunan produksi. padi tersebut terkait dengan berkurangnya lahan sawah. di Jawa seluas 113.003-146.473 ha, di Sumatera Utara 1.314-1.345 ha dan di Sulawesi 13.672-17.069 ha. Boer (2010) dari KP3I mencatat bahwa sepanjang tahun 1993-2008, tiap tahun muka air laut naik 0,2-0,6 cm, sementara suhu muka laut meningkat 0,020-0,023ºC. Untuk mengantispasi terjadinya penurunan produksi diharapkan dapat diterapkannya teknologi peningkatan Indeks Pertanaman (IP) , areal tanam dan peningkatan produktivitas tanaman. .



Oleh : Ir. Sri Puji Rahayu, MM/ yayuk_edi@yahoo.com
Sumber : 1) Anonim, 2012. Perubahan Iklim dan Inovasi Teknologi Produksi Tanaman Pangan, Badan Litbang Pertanian, Kementan; 2) Dihimpun dari beberapa sumber

Popular Posts